Senin, 04 Februari 2013

Sejarah gerbong maut




Bondowoso, Kota kabupaten ini salah satu kota yang tidak memiliki garis pantai di Jawa terletak di daerah Jawa Timur yang bertetangga dengan Kabupaten Jember di sebelah Selatan, utara dengan Kabupaten Situbondo, timur dengan Kabupaten Banyuwangi dan Barat dengan Kabupaten Probolinggo.
Dikenal dengan Kota Tape atau kota Pensiunan. Gerbong Maut merupakan Monument Bersejarah dalam sejarah perjuangan Bangsa, Bondowoso khususnya.
Kota ini berhawa dingin  karena daerah perkotaan terletak di daerah agak tinggi dibanding kota Kabupaten sekitarnya, meskipun kota ini terbilang kecil namun meninggalkan banyak bukti sejarah peradapan purba(Megalith) banyak  situs purba yang hingga kini masih bisa kita lihat, bagaimana dan seperti apa situs tersebut akan  saya ulas berikut image-nya pada article Blog ini. Disamping itu pula ada Seni Budaya Asli Bondowoso yang patut kita lestarikan “Kontes Aduan Sapi” yang  Lahir bersamaan dengan mulai berdirinya dan dibukanya daerah Bondowoso Oleh KI. RONGGO sebagai Adipati I dan masih banyak  lagi Potensi daerah   lainnya yang  perlu kami perkenalkan selain Obyek Wisata “Kawah Ijen” yang sudah dikenal di Manca Negara.
Informasi tentang kepariwisataan di Bondowoso berikut imagesnya bisa Anda dapatkan di Akun Facebook Adam tour Bondowoso.
Berikut Aku tulis Sedikit Ringkasan Cerita tentang kenapa Bondowoso dikenal dengan “Gerbong Mautnya”, yang saya dapatkan dari berbagai sumber.
Masih inget tentang film “kereta Api Terakhir” yang dibintangi Gito Rollies sebagai Sersan Tobing, dimana juga ada peran Kolonel Gatot Subroto yang dibintangi Sundjoto Adibroto dengan brilian. Dan ada kata-kata terkenal dari Gatot Subroto pada adegan itu : “Bacakansurat itu, kamu tahu aku kan buta huruf!!,…aku tidak bisa baca!!” Film Kereta Api Terakhir sebenarnya diilhami kejadian Gerbong Maut di Bondowoso, yang ceritanya jauh lebih mengerikan…begini ceritanya :
Belanda melakukan penangkapan besar-besaran terhadap TRI, lasjkar, gerakan bawah tanah dan orang-orang tanpa menghiraukan apakah yang bersangkutan berperan atau tidak dalam kegiatan perjuangan. Sehingga dalam waktu singkat penjara Bondowoso tidak mampu lagi menampung tahanan yang pada waktu itu mencapai ± 637 orang. Belanda bermaksud memindahkan tahanan yang termasuk “pelanggaran berat” dari penjara Bondowoso ke penjara Surabaya. Untuk mengangkut para tahanan tersebut digunakan sarana kereta api.
Setiap tahap pengangkutan memuat sebanyak 100 orang. Pemindahan pertama dan kedua berjalan dengan baik karena gerbong yang mengangkut tahanan diberi ventilasi seluas 10-15 cm. Namun saat pemindahan tahap ketiga, gerbong tertutup sangat rapat dan selama perjalanan rakyat tidak boleh mendekati gerbong. Akibatnya, semua tahanan dalam gerbong menderita kelaparan dan kehausan. Pemindahan tahap ketiga inilah
Yang Dikenal dengan Sebutan
“Gerbong Maut”.
Setelah mendapat perintah langsung dari Komandan J Van den Dorpe, Kepala Penjara   mengumpulkan semua tahanan yang telah tercatat namanya.  Pada Sabtu, 23 November 1947, jam 04.00 WIB, tahanan yang tercatat dibangunkan secara kasar lalu dikumpulkan di depan penjara. Rincian tahanan adalah sebagai berikut: rakyat desa (20 orang), kelaskaran rakyat dan gerakan bawah tanah(30 Orang),    anggota TRI     (30 orang), dan tahanan rakyat serta polisi (20 orang). Pada jam 05.30
WIB tahanan tiba di Stasiun Kereta Api Bondowoso. Sebanyak 32 orang masuk gerbong pertama yang bernomor GR 5769; 30 oarang ke gerbong kedua yang bernomor GR 4416, sisanya berebutan masuk ke gerbong yang terakhir bernomor GR 10152 karena panjang dan masih baru.
Pada jam 07.00 WIB kereta dari Situbondo datang. maka, saat itu juga gerbong digandeng. Menurut Ru Munawar yang masuk gerbong pertama, setelah gerbong dikunci, keadaan menjdi gelap gulita dan udara tersa panas walaupun masih pagi. Jam 07.30 kereta bergerak menuju Surabaya. tepat di Satsiun Taman, mulai terjadi peristiwa memilukan, Kiai Samsuri 50 Tahun, membanting-bantingkan tubuhnya sambil berteriak kepanasan. Jangankan diisi 30 Orang, 10 orang saja sudah terbayang panasnya. gedoran-gedoran para tahanan sudah tidak digubris bahkan dijawab dengan bentakan pedas; “Biar kalian mapus semua, hai anjing ekstrim!, atau “Di sini tidak ada makanan dan air minum, yang ada cuma peluru”.
Ketika tiba di Stasiun Kalisat, gerbong tahanan harus menunggu kereta dari banyuwangi. Selama dua jam para tahanan berada dalam terik matahari. Akhirnya pada jam 10.30 WIB kereta baru berangkat dari Jember ke Probolinggo. Setelah meningglkan Jember di siang hari, suasana gerbong bagaikan didalam neraka karena atap dan dinding gerbong terbuat dari plat baja.Banyak terjadi peristiwa diluar batas kemanusiaan, misalnya guna mempertahankan hidup dari kehausan sebagian para tahanan terpaksa meminum air kencing tahanan yang lainnya.
Mendekati Stasiun Jatiroto, Allah SWT menebarkan rahmat-NYA. Hujan yang cukup deras dimanfaatkan para tahanan yang masih hidup untuk meneguk tetes demi tetes air dengan menjilat tetesan air yang berasal dari lubang-lubang kecil.Tidak demikian halnya dengan gerbong ketiga GR10152. karena masih baru, para tahanan tidak mendapatkan tetesan air sedikitpun. Ketika sampai di Surabaya, dalam gerbong ketiga (GR10152) tidak ada satupun yang hidup.
Setelah menempuh perjalanan selama 16 jam, Gerbong Maut sampai di Stasiun Wonokromo. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Setelah didata, di gerbong I No. GR 5769 sebanyak 5 sakit keras, 27 orang sehat tapi kondisi lemas lunglai, Gerbong II No. GR.4416 sebanyak 8 orang meninggal, 6 orang sehat, dan di Gerbong III No. GR. 10152 seluruh tawanan sebanyak 38 orang meninngal semua.
Para tahanan yang sehat dipaksa menganggkut temannya yang sudah meninngal. Semua jenazah diletakkan secara sejajar. Setelah dievakuasi, lalu diangkut ke truk yang telah disediakan. Jenazah harus diangkut dengan sangat hati-hati sebab kalau tidak maka daging jenazah akan mengelupas akibat kepanasan.